02:40
0 response
Read More
Dikisahkan seorang pemuda miskin, demi memenuhi panggilan kerja yang mendesak dan sesegera mungkin, dia harus menempuh perjalanan cukup jauh ke luar kota. Dia tahu, mobil tua yang dimiliki sebenarnya tidak layak digunakan untuk perjalanan jarak jauh, tetapi keadaan memaksa, sehingga akhirnya diputuskan tetap berangkat dengan mobil tua tersebut.
Di tengah perjalanan yang sepi, senja berselimut kegelapan tiba diiringi hujan yang turun dengan deras. Tiba-tiba yang dikuatirkan terjadi juga, setelah beberapa kali terbatuk-batuk, mesin mobil akhirnya mati. Segala usaha yang serba terbatas telah dilakukan, tetapi sia-sia belaka, mobil tetap diam. Dikelilingi kegelapan malam, hujan dan badai terasa semakin tidak bersahabat. Selama beberapa jam tidak ada mobil yang melintas, si pemuda hanya bisa duduk termenung di dalam mobil meratapi nasibnya.

Tiba-tiba.... sekilas terlihat melalui kaca spion, sorotan lampu mobil mendekat dan berhenti di belakang mobil si pemuda. Diselimuti perasaan takut tetapi lebih pada rasa gembira, si pemuda melihat pengendara mobil turun mendatangi jendela mobilnya. Karena cuaca sangat gelap, hampir-hampir wajah si pengendara tidak terlihat dengan jelas.

"Mesin mobil saya mati!" serunya sambil menurunkan kaca jendela mobil. Kemudian orang yang tidak dikenal itu melangkah ke depan mobil dan membuka tutup mesin, mengulurkan tangannya dan entah apa yang dilakukan, tidak lama kemudian dia memberi isyarat agar memutar kunci kontak. Alangkah terkejut dan mengherankan, mesin mobil hidup!

Masih dengan rasa keheranan, si pemuda berseru: "Saya tadinya khawatir, jangan-jangan mobil saya mogok untuk terakhir kalinya".

Orang tidak dikenal itupun menjawab dengan tegas, "Setiap mobil paling sedikit akan hidup sekali lagi bila diberi perhatian yang semestinya".

Tiba-tiba angin mereda, hujan berubah rintik-rintik.

Orang asing itu melanjutkankan perkataannya, " Prinsip yang sama juga berlaku bagi manusia. Selama masih ada sedikit percikan api, belum terlambat bagi seorang manusia untuk membuat awal yang baru ".

Si pemuda tergesa-gesa mengucapkan banyak terima kasih dan segera meneruskan sisa perjalanannya dan tiba di tempat yang dituju dengan selamat.

Netter yang berbahagia,
Memang, begitu penting sebuah percikan api untuk bisa menghidupkan mobil, demikian pula di dalam kehidupan manusia, percikan api bisa diartikan sebagai semangat, hasrat, niat atau tekad.

Bagi setiap manusia, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, selama masih mempunyai percikan api yang berbentuk TEKAD, maka tiada kata terlambat untuk memulai sebuah awal yang baru! Kebangkitan baru! Dan menciptakan kesuksesan baru!

Bagi saya sendiri yang lahir di keluarga miskin, yang hanya mengenyam pendidikan formal kelas 6 SD pun tidak lulus (SDTT sekolah dasar tidak tamat), sungguh tidak mudah untuk berjuang dan keluar sebagai pemenang!

Begitu pentingnya kekuatan TEKAD atau percikan api bagi saya! Tanpa TEKAD YANG KUAT untuk mengubah nasib dengan berjuang mati-matian, tidak mungkin nasib bisa saya ubah dan meraih kesuksesan seperti hari ini.

Dengan bersyukur atas keberhasilan yang telah saya raih, saya bertekad untuk tetap belajar, berjuang! Berjuang dan belajar lagi!! Dan membagi semangat pada setiap orang yang membutuhkan agar bisa memiliki kekayaan mental dan sama-sama meraih kesuksesan untuk kehidupan yang lebih bernilai.
Alkisah, ada seorang anak muda pergi ke sebuah toko untuk membeli sebuah mangkuk. Sesampainya di toko, dia mengambil sebuah mangkuk dan kemudian dengan lembut membenturkannya dengan mangkuk yang lainnya. Ketika kedua mangkuk itu saling bersentuhan, terdengar suara yang sumbang. Ia mengulangi menyentuhkan mangkuk di tangannya berulang kali ke mangkuk-mangkuk lainnya. Hasilnya sama, perpaduan suara yang terdengar sumbang di telinga. Dengan kecewa dia mencari pemilik toko dan menyampaikan kekecewaannya sambil meletakkan mangkuk itu ke tempat semula.
Pemilik toko dengan sabar bertanya, “Anak muda, untuk apa membenturkan mangkuk itu dengan mangkuk yang lain?”

Si Pemuda menjawab, “ Saya diajarkan oleh sesepuh, ketika sebuah mangkuk dibenturkan dengan lembut ke mangkuk yang lain dan mengeluarkan suara yang jernih dan merdu maka itu barulah sebuah mangkuk yang bagus dan pantas dibeli."

Setelah mengamati mangkuk yang tadi dipegang si anak muda, sambil tersenyum pemilik toko mengambil mangkuk yang lain dan memberikannya kepada si pemuda, “Ambillah mangkuk ini dan cobalah sekali lagi benturkan dengan mangkuk yang lain, pasti kamu akan menemukan mangkuk yang kamu sukai."

Setengah percaya, si pemuda melakukan apa yang diminta. Aneh! Semua mangkuk yang ia benturkan mengeluarkan suara yang jernih. Ia tidak mengerti mengapa hal itu tersebut bisa terjadi.

Pemilik toko tertawa melihat roman muka heran si pemuda, “Hahaha....jangan terlalu merasa aneh.. sebenarnya alasannya sangat sederhana.  Mangkuk yang kamu ambil tadi adalah mangkuk yang cacat. Maka ketika kamu benturkan dengan mangkuk yang lain, yang mana pun, pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Maka pastikan dulu mangkuk yang ada di tanganmu adalah mangkuk yang bagus, tidak cacat untuk mengukur mangkuk yang lain cacat atau tidak."

 

Netter yang bijaksana,
Setiap manusia memiliki sebuah mangkuk di dalam diri yakni jiwa, hati dan pikiran. Jika mangkuk itu berisi kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, kejujuran dan hal-hal positif lainnya, maka saat berbenturan dengan mangkuk yang tidak cacat, maka akan memunculkan ‘suara’ yang jernih dan merdu. Diantara mereka akan timbul kepercayaan, tidak saling menyakiti, rendah hati dan saling menghormati. Sebaliknya, jika mangkuk itu cacat, dengan sendirinya suara sumbang akan terjadi berupa rasa iri, dengki, benci, curiga dan mental negatif lainnya. 

Mari penuhi mangkuk hati kita dengan hal-hal positif, yang pasti akan membawa hasil positif juga kelak di kemudian hari.

Wednesday, 25 March 2015

Lao-tzu, which means "Old Philosopher", is the name given to the founder of Taoism, a religion or philosophy in China. Lao-tzu was born with the name Li Er, in 604 BC. Though he may have been keeper of the royal archives at Loyang, few details are known of his life. Lao-tzu was ‘a hidden wise man’, reluctant to found a school and gather a following.

According to legend, Lao-tzu simply decided to leave society. He would have vanished without trace had not the customs official on the western border asked him to write a book before he retired from the world. So the sage wrote about the proper way to live in the book Tao Te Ching, the most widely translated Chinese work of all time and the classic book of Taoism. Scholars disagree whether Lao-tzu was a real person or a pen name for the writers of Tao Te Ching, which is often called "the Lao-tzu." After writing the book, he went on his western journey. No one knows where he died.

A general history of China from the first century B.C. describes Lao-tzu as an older contemporary and teacher of Confucius. Compared to Confucius, who focuses on right relations in human society, Lao-tzu takes a more mystical approach to tuning into the natural order of things as a way of achieving personal and social harmony.

Many great words of wisdom, used often in today's vernacular, have come from this ancient Chinese man and his book. Here are some highlights in quotes:

A good traveler has no fixed plans, and is not intent on arriving.

All difficult things have their origin in that which is easy, and great things in that which is small.

Ambition has one heel nailed in well, though she stretch her fingers to touch the heavens.

An ant on the move does more than a dozing ox.

Anticipate the difficult by managing the easy.

At the center of your being you have the answer; you know who you are and you know what you want.

Be content with what you have; rejoice in the way things are. When you realize there is nothing lacking, the whole world belongs to you.

Because of a great love, one is courageous.

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.

Do the difficult things while they are easy and do the great things while they are small. A journey of a thousand miles must begin with a single step.

Fill your bowl to the brim and it will spill. Keep sharpening your knife and it will blunt.

From caring comes courage.

From wonder into wonder existence opens.

Great acts are made up of small deeds.

He who conquers others is strong; He who conquers himself is mighty.

He who controls others may be powerful, but he who has mastered himself is mightier still.

He who does not trust enough, Will not be trusted.

He who is contented is rich.

He who knows others is wise. He who knows himself is enlightened.

He who knows that enough is enough will always have enough.

He who knows, does not speak. He who speaks, does not know.

He who obtains has little. He who scatters has much.

Health is the greatest possession. Contentment is the greatest treasure. Confidence is the greatest friend. Non-being is the greatest joy.

How could man rejoice in victory and delight in the slaughter of men?

I have just three things to teach: simplicity, patience, compassion. These three are your greatest treasures.

If you do not change direction, you may end up where you are heading.

If you realize that all things change, there is nothing you will try to hold on to. If you are not afraid of dying, there is nothing you cannot achieve.

If you would take, you must first give, this is the beginning of intelligence.

In dwelling, live close to the ground. In thinking, keep to the simple. In conflict, be fair and generous. In governing, don't try to control. In work, do what you enjoy. In family life, be completely present.

In the world there is nothing more submissive and weak than water. Yet for attacking that which is hard and strong nothing can surpass it.

It is better to do one's own duty, however defective it may be, than to follow the duty of another, however well one may perform it. He who does his duty as his own nature reveals it, never sins.

Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.

Life and death are one thread, the same line viewed from different sides.

Life is a series of natural and spontaneous changes. Don't resist them - that only creates sorrow. Let reality be reality. Let things flow naturally forward in whatever way they like.

Love is of all passions the strongest, for it attacks simultaneously the head, the heart and the senses.

Mastering others is strength. Mastering yourself is true power.

Music in the soul can be heard by the universe.

Nature does not hurry, yet everything is accomplished.

Nothing is softer or more flexible than water, yet nothing can resist it.

One can not reflect in streaming water. Only those who know internal peace can give it to others.

One who is too insistent on his own views, finds few to agree with him.

People in their handlings of affairs often fail when they are about to succeed. If one remains as careful at the end as he was at the beginning, there will be no failure.

Respond intelligently even to unintelligent treatment.

Silence is a source of great strength.

The higher the sun ariseth, the less shadow doth he cast; even so the greater is the goodness, the less doth it covet praise; yet cannot avoid its rewards in honours.

The journey of a thousand miles begins with one step.

The power of intuitive understanding will protect you from harm until the end of your days.

The softest things in the world overcome the hardest things in the world.

The wise man does not lay up his own treasures. The more he gives to others, the more he has for his own.

The words of truth are always paradoxical.

To know yet to think that one does not know is best; Not to know yet to think that one knows will lead to difficulty.

To lead people walk behind them.

To realize that you do not understand is a virtue; Not to realize that you do not understand is a defect.

To see things in the seed, that is genius.

To the mind that is still, the whole universe surrenders.

Treat those who are good with goodness, and also treat those who are not good with goodness. Thus goodness is attained. Be honest to those who are honest, and be also honest to those who are not honest. Thus honesty is attained.

Violence, even well intentioned, always rebounds upon oneself.

When a nation is filled with strife, then do patriots flourish.

When I let go of what I am, I become what I might be.

When the best leader's work is done the people say, "We did it ourselves."

When you are content to be simply yourself and don't compare or compete, everybody will respect you.

Without stirring abroad, One can know the whole world; Without looking out of the window One can see the way of heaven. The further one goes The less one knows.
Alkisah, ada seorang pelukis terkenal di sebuah negeri. Suatu hari dia kedatangan seorang tamu pria yang sudah lanjut usianya. Orangtua itu membawa beberapa sketsa yang ingin diperlihatkan kepada pelukis besar tersebut untuk meminta pendapat dan penilaian apakah sketsa itu bernilai, atau setidak-tidaknya menyatakan seberapa besar bakat potensial dari pembuatnya.
Sekilas, dilihatnya sketsa berbagai bentuk dan jenis hewan di hadapannya. Karena keahliannya, dalam waktu sekejap saja, pelukis besar itu sudah dapat menilai apakah sketsa atau lukisan kasar itu memiliki nilai artistik atau sebaliknya tidak berharga sama sekali. Dengan tutur sapa yang lembut dan halus, si pelukis ternama menyampaikan bahwa sketsa yang diperlihatkan tamunya itu kurang begitu berharga dan kurang memperlihatkan bakat seni. Tak lupa, sang seniman meminta maaf atas pendapatnya yang mungkin menyakiti tamunya. Akan tetapi dalam hal ini, dia tidak bisa membohongi kenyataan dan pendapatnya.

Orang tua itu tertunduk lesu dan tampak kecewa. Kemudian dia mengeluarkan map yang lain, sambil memohon agar si pelukis mau melihat beberapa sketsa dan lukisan lain yang dibawanya, yang merupakan karya seorang pemuda dari suatu sanggar seni rupa. Kali ini, si pelukis besar melihat berbagai jenis sketsa dan juga pemandangan.

Setelah memperhatikan dengan lebih seksama beberapa lukisan berikutnya, si pelukis tampak sangat tertarik dengan bakat seni yang terlihat di lukisan itu, “Ini.. Oh ini bagus sekali! Sangat detail dan memiliki sudut pandang yang unik. Anak muda ini memiliki bakat besar. Ia harus dibantu dan didorong dalam kariernya sebagai seorang pelukis. Dia memiliki masa depan yang cerah jika dia tekun melatih kemampuan dan tekniknya ini, serta setia pada apa yang menjadi cita-citanya sebagai seorang pelukis.”

Mendengar komentar itu, bapak tua tersenyum gembira, “Terima kasih atas penilaian dan penghargaan Anda.”

“Siapa gerangan pelukis muda yang berbakat ini?” tanya si pelukis “Apakah dia putra bapak?”

“Bukan,” jawab si bapak dengan muka dan nada suara sedih. “Lukisan yang terakhir Anda lihat itu adalah coretan tanganku dua puluh tahun silam. Jika saja aku bisa mendengar komentar positif Anda pada saat itu…. Sayangnya, aku berkecil hati, kurang percaya diri dan berhenti terlalu cepat dalam menekuni aliran seni lukis itu.” 

Lalu dia melanjutkan, “Yah, setidaknya aku telah mendapat satu pelajaran di kehidupan ini, jangan cepat menyerah apalagi saat mendengarkan komentar negatif dari orang lain. Selagi kita mau belajar, perubahan dan kemajuan bisa kita dapatkan. Terima kasih atas pertemuan ini.” Dan mereka pun berpisah..

Netter Sekalian,
Dalam kehidupan, kita sering diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain sehingga sering mengubah apa yang kita jalani dan yakini. Padahal semua hasil kesuksesan membutuhkan kepercayaan diri dalam proses perjuangan. Maka sangat dibutuhkan keyakinan, kepercayaan diri dan berprinsip dalam menjalankan apa yang sudah kita kerjakan.
Dikisahkan, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak sekelompok anak-anak sedang menyimak pelajaran yang diberikan oleh seorang guru. Di antara anak-anak itu, terlihat seorang kakek duduk di sana.Seusai pelajaran, seorang pemuda dengan penasaran menghampiri dan bertanya kepada si kakek, "Kek, apakah kakek seorang guru?"
"Bukan..., aku bukan seorang guru. Aku juga sedang belajar, sama dengan anak-anak itu."

"Lho, memangnya, berapa umur kakek?"
"Umur kakek tahun ini, tepat 10 tahun."

"Ah..., kakek bercanda! Perkiraanku, umur kakek sudah 70 tahunan..."
"Ha ha ha, tebakanmu benar! Bila dihitung dari saat kakek lahir hingga kini, umur kakek memang 70 tahun. Tetapi, 60 tahun yang telah dilewati jangan dihitung. Yang benar-benar dapat dihitung adalah kehidupanku sepuluh tahun terakhir ini."

Si pemuda menunjukkan wajah kebingungan. Ia pun bertanya, "Apa artinya, Kek?"

Sambil menghela napas panjang si kakek menjawab, "Sejak kecil sampai usia 20 tahun, yang seharusnya waktu terbaik untuk belajar, tetapi kakek sibuk bermain dan bersantai. Karena semua kebutuhan hidup telah disediakan berlimpah oleh orangtua kakek. Kemudian 20 tahun berikutnya, waktu yang seharusnya untuk mengejar karir dan berjuang, kakek malah menggunakannya untuk berfoya-foya-menghamburkan harta yang diperoleh dengan susah payah oleh orangtua kakek. Dan 20 tahun ketiga, waktu yang seharusnya untuk mengumpulkan tabungan sebagai persiapan pensiun di masa tuaku, malahan kakek gunakan untuk pergi tamasya, menghabiskan sisa harta yang masih ada. Semua hanya untuk mengejar kesenangan sesaat. Coba, kamu pikir, bukankah 60 tahun telah kulewati itu sia-sia? Tidak ada satu pun yang kupelajari."

"Lalu bagaimana dengan sepuluh tahun terakhir hidup kakek?"

Dengan mata berkaca-kaca si kakek bertutur, "Sepuluh tahun terakhir aku sadar, 60 tahun hidup dilalui tanpa makna, tanpa tujuan, dan tanpa cita-cita... Sungguh hidup yang sia-sia, tidak berguna. Saat sadar, kakek sudah hidup sebatang kara dan tanpa harta. Untuk hidup pun harus ditunjang dari belas kasihan orang lain. Anak muda, jangan meniru kehidupan seperti yang telah kakek jalani. Karena, waktu adalah modal utama paling berharga yang dimiliki oleh setiap manusia. Pergunakanlah baik-baik untuk belajar, berusaha, dan berkarir. Efektivitaskan waktumu pada tujuan yang jelas, dan berjuang meraih keberhasilan. Maka kelak di hari tuamu, kamu akan menjalani kehidupan ini dengan bangga dan bahagia."

Pembaca yang Bijaksana,

Saat ini kita hidup di era dengan perubahan yang cepat, perkembangan teknologi yang semakin pesat, serta persaingan di semua lini usaha yang begitu ketat. Maka kita dituntut menjadi manusia pembelajar yang bisa menghargai waktu dan mengelolanya secara cerdas, cermat, dan cekatan.  Jika kita mampu mengelola waktu dengan begitu smart, bisa dipastikan kehidupan kita akan punya warna, punya ciri, dan berkualitas. Manfaatkan waktu yang begitu berharga! Seperti pepatah berbunyi, time is money (waktu adalah uang). Tetapi lebih dari itu, time is life (waktu adalah nyawa)...!


背影


Aku dan Ayah sudah lebih dari 2 tahun tidak bertemu dan hal yang tidak dapat kulupakan adalah bayangan punggung Ayah. Musim dingin tahun itu, nenekku meninggal, Ayah pun dipecat dari pekerjaannya, sungguh hari yang buruk. Aku meninggalkan Beijing dan kembali ke Xuzhou untuk mendampingi Ayah di pemakaman nenek. Sesampainya di Xuzhou dan bertemu Ayah, hatiku merasa kacau. Betapa aku sangat merindukan nenek dan aku tak hentinya menangis. Ayah pun berkata, “Relakan hal yang sudah terjadi, Nak! Tidak perlu sedih, Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya terpuruk, ketika kita mulai menemui suatu harapan, saat itulah Tuhan akan memberikan jalan keluar.”
Demi membayar hutang, Ayah menggadaikan rumah dan meminjam uang untuk keperluan pemakaman. Hari itu, rumah terasa sangat suram. Mungkin karena masa berduka, dan juga pemecatan Ayah. Setelah pemakaman berakhir, Ayah pergi ke Nanjing untuk mencari pekerjaan dan aku kembali ke Beijing untuk melanjutkan sekolah, kami pun menjadi teman seperjalanan.

Di Nanjing, kami menghabiskan waktu seharian untuk bertemu dengan kawan lama. Pagi berikutnya, kami menyebrangi sungai hingga ke Pukou, dan sore harinya aku akan naik kereta menuju ke Utara. Ayah awalnya berkata tidak bisa mengantarku karena sibuk, dan berulang kali meminta bantuan seorang pelayan hotel untuk mengantarku ke stasiun. Tapi Ayah masih sangat khawatir, dan meragukan si pelayan. Sebenarnya, saat itu aku sudah berusia 20 tahun dan sudah 2-3 kali bepergian ke Beijing, jadi sebetulnya ini bukanlah hal yang penting. Ayah berpikir sejenak hingga akhirnya memutuskan untuk mengantarkanku pergi. Meskipun sudah berkali kali ku sarankan untuk tidak perlu mengantar, Ayah tetap bersikeras dan berkata, “Jangan membantah, mereka tidak akan bisa mengantarmu dengan baik!”

Saat aku membeli tiket di stasiun, Ayah sibuk tawar menawar dengan seorang porter untuk membantuku membawa koper–koperku yang sangat banyak. Padahal aku bisa mengurus diriku sendiri, tapi aku hanya melihat Ayahku melakukan tawar menawar itu sendiri karena merasa lucu. Akhirnya, ayah mengantarku sampai di depan gerbong kereta. Ayah memberikanku uang dan Aku memberikan sebuah mantel wol berwarna ungu buatanku sendiri untuk Ayah.

Aku berkata pada Ayah, “Ayah, pergilah.”
Lalu Ayah berkata, “Ayah pergi membeli jeruk dulu, kamu jangan kemana–mana.”

Melihat bayangan punggung Ayahku saat itu, air mataku tidak tertahankan. Aku langsung menyeka air mataku karena takut Ayah melihatku menangis. Setelah memberikan jeruk yang dibelinya, Ayah bersikeras untuk menunggu sampai keretaku berangkat, tapi aku berhasil meyakinkannya. Ayah pun berkata, “Kalau begitu, Ayah pergi sekarang. Jangan lupa kirim surat jika sudah tiba di sana!” Ayah pun pergi sambil sekali–kali menoleh ke arahku. “Cepat masuk,” ujarnya. Bayangan Ayah pun perlahan menghilang, dan tanpa sadar, air mata kembali jatuh di pipiku.

Setibanya aku di Beijing, tidak ada waktu untuk membaca surat–surat yang dikirim Ayah. Dua tahun pun berlalu dan aku tidak lagi menerima surat dari Ayahku. Aku merasa ada yang janggal, dan menelepon kantor pos untuk memastikan, dan memang tidak ada surat kiriman Ayah untukku. Aku mulai khawatir dan langsung menghubungi teman lama Ayah di Nanjing. Orang itu berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa Ayahmu sudah meninggal?”

Mendengar ucapannya, aku merasa duniaku runtuh. Sekembalinya aku ke asrama, aku mencari surat terakhir yang Ayah kirim padaku dan membacanya. Dalam surat itu Ayah berkata, “Tubuhku baik–baik saja, tapi lenganku sangat sakit. Untuk mengangkat sumpitpun aku tidak mampu. Kurasa, memang waktuku tidak lama lagi.” Setelah membaca, aku merasa sangat menyesal. Sekarang, aku tidak akan bisa melihat bayangan punggungnya lagi meskipun aku sangat menginginkannya.

Netter Yang Bijaksana,

Kisah di atas diambil dari sebuah prosa terkenal Tiongkok yang ditulis oleh penulis terkenal Zhu Ziqing pada tahun 1927 dan menjadi karya yang mewakili prosa-prosa pada masa pergerakan perbaharuan nasional di Tiongkok yang dimulai pada tahun 1919. Zhu Ziqing menulis prosa tersebut sesuai dengan apa yang ia lihat dan terjadi di sekelilingnya. Kisah "Bayangan Punggung" ini mengajarkan pada kita tentang cinta seorang ayah terhadap anaknya tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
Older Posts Home
background